YAYASAN YATIM & DU’AFA ALKAUTSAR 561, MENERIMA PENYALURAN ZAKAT, INFAQ, WAKAF DAN SHODAQOH

Jumat, 03 Maret 2023

Ikhtiar dan Tawakkal kepada Allah.

  


Tawakkal 

Pengertian Tawakkal Lughawi (Secara Bahasa).

Kata “اَلتَّوَكُّلُ” berasal dari kata “وَكَلَ”. Dikatakan, “ِوَتَوَكَّلَ عَلَيْهِ وَاتَكَّلَ وَكَلَ باللهِ” berarti berserah diri kepada-Nya. Juga kalimat “وَكَلَ إِلَيْهِ َاْلأَمْرَ وَكْلاً وَوَكُوْلاً” yang berarti menyerahkan dan meninggal-kannya.

Serta, “رَجُلٌ وَكَلٌ وَوُكَلَةٌ” semisal dengan kata “humazah” dan “tukalatun” yang berarti orang lemah yang mewakilkan urusannya kepada orang lain sekaligus bersandar padanya. Al-Azhari mengatakan:

رَجُلٌ وُكَلَةٌ إِذَا كَانَ يَكِلُ أَمْرَهُ إِلَى النَّاسِ

“Seseorang disebut ‘Wukalatun,’ jika dia menyerahkan urusannya kepada orang lain.. Dan kalimat, “وَفَرَسٌ وَاكِلٌ” berarti bersandar pada penunggangnya dalam melompat dan memerlukan pukulan.

Dan kata “اَلْوَكِيْلُ” berwazan fa’iil yang berarti maf’ul, yaitu orang yang diserahi urusan oleh pemilik urusan tersebut. Al-Azhari mengatakan, “Disebut ‘وَكِيْلُ’, karena pemilik urusan itu telah melimpahkan (mewakilkan) wewenang kepadanya untuk menyelesaikan urusannya dan ia disebut sebagai ‘مَوْكُوْلٌ إِلَيْهِ’”

Sebagian dari mereka menafsirkan kata “اَلْوَكِيْلُ” sebagai “اَلْكَافِلُ” yaitu pihak yang memberi jaminan. Ar-Raghib mengatakan, “Kata ‘اَلْوَاكِيْلُ’ lebih umum, karena setiap kafiil itu pasti wakiil, tetapi tidak setiap wakiil itu sebagai kafiil.”

Kata اَلتَّوْكِيْلُ” berarti, jika Anda bersandar kepada orang lain dan Anda jadikan ia sebagai wakil bagi diri Anda.

Kata “تَوَكُّلٌ berwazan “تَفَعُّلٌ”dari kata “اَلْوَكَلَةُ” atau “وِكَلَةٌ” yang berarti memperlihatkan ketidak mampuan dan bersandar pada orang lain Dan isimnya adalah “اَلتِّكْلاَنُ”.

Ibnul Atsir mengatakan, “Dikatakan ‘تَوَكُّلُ بِالأَمْر’, jika pelaksanaan sebuah urusan ditanggung. ‘وَكَّلْتُ أَمْرِيْ إِلَى فُلاَنٍ’, berarti saya berlindung sekaligus bersandar kepadanya dalam urusan itu. Dan juga menyerahkan pelaksanaan urusan itu sendiri dan terkadang keduanya bersatu.

Ar-Raghib al-Ashfahani mengatakan, “Kata ‘اَلتَّوَكُّلُ’ dikatakan pada dua sisi. Dikatakan, ‘تَوَكَّلْتُ لِفُلاَنٍ’, yang berarti aku serahi kekuasaan padanya. Dan dikatakan pula, ‘وَكَّلْتُهُ فَتَوَكَّلَ لِيْ’ yang berarti saya serahkan urusan kepadanya sehingga dia mewakili diri saya dan kata ‘تَوَكَّلْتُ عَلَيْهِ’ berarti saya bersandar kepadanya.”

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka yang dimaksudkan dengan kata اَلْوَكَالَةُ ada dua:

Pertama: اَلتَّوْكِيْلُ, yaitu mewakilkan sekaligus menyerahkan.

Kedua: اَلتَّوَكُّلُ yang berarti menjalankan tugas berdasarkan perwakilan yang diberikan oleh si pemberi hak tersebut.



Pengertian Secara Istilah.

Adapun makna istilah kata “تَوَكُّلٌ” (Tawakkul), maka dilihat dari posisinya yang mengungkapkan salah satu dari keadaan hati yang sulit untuk diterka pada batasan tertentu. Karenanya, muncul berbagai penafsiran para ulama dalam bermacam bentuk. Ada di antaranya yang menafsirkannya secara lazimnya dan ada juga yang menafsirkannya dengan menggunakan sebab-sebab dan faktor-faktornya, atau dengan nilai atau sebagian dari maknanya, sebagai-mana yang menjadi kebiasaan para ulama Salaf dalam penafsiran mereka.

Di antara sebab perbedaan itu adalah bahwa keadaan dan amal perbuatan hati itu sulit sekali diterka secara pasti dan pengungkapannya (pembatasannya) dengan kata-kata. Oleh karena itu, mengenai tawakkal ini. Al-Ghazali mengungkapkan, “… Tidak jelas dari segi makna dan sulit dari segi amal[12].”

Sebagaimana mereka tidak mengarahkan pengertian-pengertian itu dengan pengertian istilah yang hakiki, tetapi mereka hanya bermaksud untuk menjelaskan pentingnya kriteria ini atau memelihara keadaan orang yang mengatakan atau bahkan sampai pendengar sekalipun atau sebab-sebab lainnya.

Oleh karena itu, muncul berbagai penafsiran mereka dan seakan-akan lahiriyahnya tampak ada suatu perbedaan dan perubahan, yang pada hakikatnya ia terdiri dari beberapa bagian makna umum dari kata tawakkal itu sendiri atau dari kelaziman, pengaruh, dan nilainya.

Tawakkal adalah termasuk amal yang agung dan kedudukan yang sangat tinggi dalam agama Islam, bahkan kesempurnaan iman dan tauhid dalam semua jenisnya tidak akan dicapai kecuali dengan menyempurnakan tawakal kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيلًا

 (Dia-lah) Rabb masyrik (wilayah timur) dan maghrib (wilayah barat), tiada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung [QS. al-Muzzammil [73]:9]



Keutamaan Tawakal

Merealisasikan tawakkal yang hakiki adalah sebab utama turunnya pertolongan dari Allâh Azza wa Jalla bagi seorang hamba dengan Dia mencukupi semua keperluan dan urusannya. Ibnu Rajab menukil seorang Ulama salaf berkata, “Cukuplah bagimu untuk melakukan tawassul (sebab yang disyariatkan untuk mendekatkan diri) kepada Allâh Azza wa Jalla adalah dengan Dia mengetahui (adanya) tawakal yang benar kepada-Nya dalam hatimu. Berapa banyak hamba-Nya yang memasrahkan urusannya kepada-Nya, maka Diapun mencukupi (semua) keperluan hamba tersebut”. Kemudian Ulama ini membaca ayat :

 

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا﴿٢﴾وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

 

Barangsiapa yang bertakwa kepada Allâh niscaya Dia akan memberikan baginya jalan ke luar (bagi semua urusannya). Dan memberinya rezki dari arah yang tidada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allâh niscaya Allâh akan mencukupkan (segala keperluan)nya” [ath-Thalâq/65:2-3]

Meluruskan Pemahaman Ikhtiar dan Tawakal

Banyak masyarakat memahami Tawakal sebagai menyerah pada keadaan dan kenyataan tanpa sebab/upaya/ikhtiar/syariat. Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebut tawakal dengan “Pasrah diri kepada kehendak Allah SWT; percaya dengan sepenuh hati kepada Allah SWT.”

Perlu dipahami bahwa tawakal pada hakikatnya memang amalan hati (ibadahnya hati) sebagaimana ucapan Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah, “Tawakkal yang hakiki adalah penyandaran hati yang sebenarnya kepada Allâh Azza wa Jalla dalam meraih berbagai kemaslahatan (kebaikan) dan menghindari semua bahaya, dalam semua urusan dunia maupun akhirat, menyerahkan semua urusan kepadanya dan benar-benar meyakini bahwa tidak ada yang dapat memberi, menghalangi, mendatangkan bahaya serta memberikan manfaat kecuali Allâh (semata).



Atau pendapat Abul Qasim Al-Qusyairi, dalam kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah, “Ketahuilah, tawakal bertempat di hati. Sedangkan gerakan fisik lahiriah tidak menafikan kerja tawakal di hati setelah keyakinan seorang hamba mantap di hati bahwa takdir berasal dari Allah SWT. Jika suatu kenyataan itu tampak sulit, maka berlaku takdir-Nya. Tetapi jika suatu kenyataan sesuai dengan keinginannya, maka itu terjadi berkat kemudahan yang diberikan Allah (merupakan taqdir Allah juga).”

Namun dalam pelaksanaan yang benar dalam mengamalkan tawakal tidak bisa dipisahkan dengan amal/ikhtiar/usaha. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan kesempurnaan tawakkal yang tidak mungkin lepas dari usaha, beliau bersabda :

 

لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا يُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا

Seandainya kalian bertawakkal pada Allâh dengan tawakkal yang sebenarnya, maka sungguh Dia akan melimpahkan rezki kepada kalian, sebagaimana Dia melimpahkan rezki kepada burung yang pergi (mencari makan) di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang”[ HR. Ahmad).

Imam al-Munawi rahimahullah ketika menjelaskan makna hadits ini, mengatakan, “Artinya : Burung itu pergi di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali waktu petang dalam keadaan perutnya telah penuh (kenyang). Namun, usaha (sebab) yang dilakukan ini bukanlah yang mendatangkan rezki (dengan sendirinya), karena yang melimpahkan rezki adalah Allâh Azza wa Jalla (semata)”.

Dalam hadits ini Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan bahwa tawakkal (yang sebenarnya) bukanlah berarti bermalas-malasan dan enggan melakukan usaha (untuk mendapatkan rezki), bahkan (tawakal yang benar) harus dengan melakukan (berbagai) macam sebab (yang dihalalkan untuk mendapatkan rezki). Oleh karena itu, Imam Ahmad ketika mengomentari hadits ini (Dinukil oleh al-Mubarakfuri dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi) berkata, “Hadits ini tidak menunjukkan larangan melakukan usaha (sebab), bahkan (sebaliknya) hadiats ini menunjukkan (kewajiban) mencari rezki (yang halal). Karena makna hadits ini adalah kalau manusia bertawakkal kepada Allâh Azza wa Jalla ketika mereka pergi , ketika kembali, dan ketika mereka mengerjakan semua aktifitas mereka, dengan meyakini bahwa semua kebaikan ada di tangan Allah, maka pasti mereka akan kembali dalam keadaan selamat dan mendapatkan limpahan rezki Allah sebagaimana keadaan burung pada paparan diatas.”

Imam Ibnu Rajab rahimahullah memaparkan hal ini secara lebih jelas, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya merealisasikan tawakkal tidaklah bertentangan dengan usaha untuk (melakukan) sebab yang dengannya Allâh Subhanahu wa Ta’ala menakdirkan ketentuan-ketentuan (di alam semesta). Dan (ini merupakan) ketetapan-Nya yang berlaku pada semua makhluk-Nya. Karena Allâh Azza wa Jalla memerintahkan (kepada manusia) untuk melakukan sebab (usaha) sebagaimana Dia memerintahkan untuk bertawakkal (kepada-Nya). Maka usaha untuk melakukan sebab (yang halal) dengan anggota badan adalah (bentuk) ketaatan kepada-Nya, sebagaimana bertawakkal kepada Allah dengan hati ialah (perwujudan) iman kepada Allah, Sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا خُذُوا حِذْرَكُمْ

Wahai orang-orang yang beriman, bersiapsiagalah kamu [an-Nisâ’/4:71]

Dan firman-Nya :

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang [al-Anfâl/8:60]

Juga firman-Nya:

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi (untuk mencari rezki dan usaha yang halal) dan carilah karunia Allâh, dan ingatlah Allâh banyak-banyak supaya kamu beruntung” [al-Jumu’ah/62:10][10].

Makna inilah yang diisyaratkan dalam ucapan Sahl bin Abdullah at-Tustari seorang ahli zuhud (wafat 283 H), “Barangsiapa mencela tawakal maka berarti dia telah mencela  iman. Dan barangsiapa mencela usaha untuk mencari rezki maka berarti dia telah mencela sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Dalam redaksi lain beliau mengatakan, ‘Tawakal merupakan sikap batin Nabi Muhammad SAW. Sedangkan sebab/upaya/ikhtiar/syariat adalah jalan sunah atau anjurannya. Siapa saja yang kondisinya masih saja demikian (belum ada perubahan ke arah yang diinginkan), hendaknya jangan meninggalkan sebab/upaya/ikhtiar/syariat sebagai sunah Nabi Muhammad SAW.


Tulisan Ustad Slamet Santoso, M.T


0 comments:

Posting Komentar