Mengenal Nama dan Sifat Allah.
Asmaul Husna Tidak terbatas 99 nama
Penyebutan
bahwa Asmaul Husna ada 99 di antaranya disampaikan oleh Rasulullah saw dalam
hadits berikut:
إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا،
مِائَةً إِلا وَاحِدَةً، مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ
Hadits di atas secara tegas menyebutkan bilangan 99 untuk jumlah
Asmaul Husna, tidak lebih dan tidak kurang. Akan tetapi, dalam hadits lain Nabi
juga menyampaikan dengan redaksi yang lebih umum dan bisa diartikan bahwa
Asmaul Husna lebih dari 99.
Beliau bersabda:
أَصَابَ أَحَدًا قَطُّ هَمٌ ولا حَزَنٌ،
فَقَالَ: اللهُمَّ إِني عَبْدُك، ابْنُ عَبْدِك، ابْنُ أَمَتِك، نَاصِيَتِي
بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ
اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ
خَلْقِكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِك، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ
الغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ القُرْآنَ العَظِيمَ رَبِيعَ قَلْبِي، وَنُورَ
صَدْرِي، وَجلَاءَ حُزْنِي، وَذَهَابَ هَمِّي، إِلَّا أَذْهَبَ اللهُ هَمَّهُ
وَحَزَنَهُ وأَبْدَلَ مَكَانَه فَرَحًا. فَقِيلَ: يَا رَسُولَ الله، أَفَلَا
نَتَعَلَّمُها؟ فَقَالَ: بَلَى يَنْبَغِي لِكُلِّ مَنْ سَمِعَها أَنْ
يَتَعَلَّمَها
Artinya, “Tidak sekali-kali seseorang tertimpa kesusahan, tidak pula kesedihan, lalu ia mengucapkan doa berikut, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak hamba, dan amat (hamba perempuan)-Mu, ubun-ubun (roh)ku berada di dalam genggaman kekuasaan-Mu, aku berada di dalam keputusan-Mu, keadilan belakalah yang Engkau tetapkan atas diriku.
Aku memohonkan kepada Engkau dengan menyebut semua nama yang menjadi milik-Mu, yang Engkau namakan dengannya diri-Mu, atau yang Engkau turunkan di dalam kitab-Mu, atau yang Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu, atau Engkau menyimpannya di dalam ilmu gaib di sisi-Mu, jadikanlah Al-Qur’an yang agung sebagai penghibur hatiku, cahaya dadaku, pelenyap dukaku, dan penghapus kesusahanku,’ Melainkan Allah menghilangkan kesedihan dan kesusahannya dalam dirinya, dan menggantikannya dengan kegembiraan. Ketika ada yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah kami boleh mempelajarinya?’ Rasulullah ﷺ menjawab, ‘Benar, dianjurkan bagi setiap orang yang mendengarnya (asmaul husna) mempelajarinya.’” (HR Imam Ahmad, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim). Sekilas kedua hadits di atas memang kontradiktif. Hadits pertama membatasi jumlah Asmaul Husna sebanyak 99, tapi hadits kedua tidak membatasinya. Akan tetapi jika ditelaah lebih jauh, kedua hadits ini tidak bertentangan. Dalam beberapa sumber dijelaskan bahwa Asmaul Husna tidak hanya 99.
Imam An-Nawawi dalam mengomentari hadits pertama mengatakan, ulama sepakat bahwa hadits tersebut tidak membatasi jumlah asmaul husna hanya 99 nama, tetapi maksudnya adalah Allah menjanjikan balasan surga bagi orang yang menghafal 99 nama tersebut. Jadi, hadits ini sifatnya informatif, bukan membatasi bilangan. Hal ini diperkuat dengan pendapat Al-Hafidz Abu Bakar bin al-‘Arabi al-Maliki yang mengatakan bahwa Allah swt memiliki 1000 nama. (Imam An-Nawawi, Syarah Muslim, juz V, halaman 17).
Sementara Ibnu
Hajar al-‘Asqalani juga berpendapat terkait hadits pertama, soal jumlah Asmaul
Husna hanya 99 atau lebih memang ada perbedaan pendapat dari sejumlah ulama.
Hanya, mayoritas ulama mengatakan jumlah Asmaul Husna lebih dari 99. Kemudian,
mengutip al-Khattabi, Ibnu Hajar melanjutkan, alasan 99 nama ini dikhususkan
pahala surga bagi yang menghafalnya karena nama-nama tersebut yang paling
populer dan memiliki arti paling jelas dibanding yang lainnya. (Ibnu Hajar,
Fathul Bari, juz XIV, halaman 475)
Jumlah dan pengelompokan nama-nama dan sifat-sifat Allah
Ulama yang merumuskan secara praktis menjadi 20 Sifat Wajib bagi
Allah adalah al-Imam Muhammad bin Yusuf bin Umar bin Syu’aib as-Sanusi
al-Hasani (832-895 H/1428-1490 M), asal kota Tilmisan (Tlemcen) Aljazair, Dalam
al-‘Aqidah as-Sughra yang terkenal dengan judul Umm al-Barahain Imam as-Sanusi
mengatakan:
فَمِمَّا يَجِبُ لِمَوْلَانَا جَلَّ وَعَزَّ
عِشْرُونَ صِفَةً.
“Maka di antara sifat wajib bagi Allah Tuhan Kita-Yang Maha
Agung dan Maha Perkasa-adalah 20 sifat.”
Dan menambah dengan tiga pengelompokan :
1. sifat wajib bagi Allah (20
sifat) yaitu Meyakini secara mantap tanpa keraguan, bahwa Allah pasti bersifat
dengan segala kesempurnaan yang layak bagi keagungan-Nya.
2. Sifat Mustahil Bagi Allah (20 sifat) yaoyu Meyakini secara
mantap tanpa keraguan, bahwa Allah mustahil bersifat dengan segala sifat
kekurangan yang tidak layak bagi keagungan-Nya.
3. sifat Jaiz bagi Allah
Swt. Yakni Meyakini secara mantap tanpa keraguan, bahwa Allah boleh saja
melakukan atau meninggalkan segala hal yang bersifat jaiz(mumkin), seperti menghidupkan
manusia dan membinasakannya. Pengelompokan dan jumlah sifat-sifat tersebut
bukan Batasan sebagaimana Imam as-Sanusi dalam Syarh Umm al-Barahain
menjelaskan:
(ص) )فَمِمَّا يَجِبُ لِمَوْلاَنَا جَلَّ
وَعَزَّ عِشْرُوْنَ صِفَةً( (ش) أَشَارَ بِمِنْ التَّبْعِيْضِيَّةِ إِلَى أَنَّ
صِفَاتِ مَوْلَانَا جَلَّ وَعَزَّ الْوَاجِبَةَ لَهُ لَا تَنْحَصِرُ فِيْ هَذِهِ
الْعِشْرِيْنَ، إِذْ كَمَالَاتُهُ تَعَالَى لَا نِهَايَةَ لَهَا، لَكِنْ الْعَجْزُ
عَنْ مَعْرِفَةِ مَا لَمْ يَنْصُبْ عَلَيْهِ دَلِيْلٌ عَقْلِيٌّ وَلَا نَقْلِيٌّ
لَا نُؤَاخِذُ بِهِ بِفَضْلِ اللهِ تَعَالَى
“Kitab Asal (Umm al-Barahain) berisyarat dengan huruf مِنْ tab'idiyah untuk menunjukkan, bahwa
sifat-sifat Allah–Jalla wa ‘Azza–tidak terbatas pada 20 sifat ini, sebab
kesempurnaan-Nya tidak terbatas, namun ketidakmampuan mengetahui sifat-sifat
yang tidak terjelaskan oleh dalil 'aqli dan naqli membuat kita tidak disiksa
karenanya, berkat anugerah Allah Ta'ala.”
Kaidah-kaidah Dasar supaya terhindar dari salah dalam memahami dan menafsirkan sifat-sifat Allah
Diantara sebab yang bisa menjadikan kesalahan fatal dalam memahami dan menafsirkan sifat-sifat Allah adalah dikarenakan ada beberapa sifat yang seolah mirip dengan sifat-sifat yang dimiliki makhluk Allah khususnya manusia, sehingga sekte sekte terdahulupun dikeluarkan dari jajaran ahli sunnah karena kesalahan dalam memahami dan menafsirkan dengan menyamakan Allah dengan mahluknya atau menolak sebagian sifat-sifat Allah swt. Padahal kita wajib mensucikan Allah dari meyamakannya sebagai mahluk. Maka berikut kaidah kaidah dasar yang harus diperhatikan:
1. Penyimpangan (tahrif),yaitu merubah atau
mengganti makna dari apa yang telah Allah tetapkan untuk diri-Nya.
2.Penolakan (ta’thil), Yaitu meniadakan nama
dan sifat yang telah Allah tetapkan, baik sebagiannya ataupun seluruhnya.
Misalnya membatasi sifat Allah hanya bebeberapa sifat saja dan menolak sifat
lainnya.
3. Takyif yaitu mempertanyakan dan Membahas
bagaimana bentuk nama dan sifat Allah, yaitu membatasi bagaimanakah sifat dan
nama yang dimiliki oleh Allah. Padahal hal ini tidak mungkin.
4. Tasybih yaitu Menyamakan Allah dengan
makhluk-Nya.
Inipun tidak mungkin karena Allah tidak serupa dengan hamba-Nya.
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ
البَصِيرُ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia,
dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (Qs. Asy-Syuura: 11)
Aktualisasi mengenal nama dan sifat Allah dalam kehidupan
Contoh kasus mengenal Allah Maha
Melihat dan Mendenga
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ
الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11).
Dalam ayat yang mulia ini, Allah Jalla wa ‘Ala menggambarkan tentang diri-Nya bahwa Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat. Ketika kita mengetahui bahwa Allah Maha Mendengar, maka konsekuensinya kita harus meyakini bahwa Allah mendengar segala suara, baik suara itu kuat atau lirih, tidak ada yang tersembunyi dari-Nya satu suara pun. Bahkan apabila manusia sejak zaman Nabi Adam hingga zaman kita saat ini, atau zaman yang paling akhir, mereka semua berdiri di suatu tempat lalu semuanya memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla dalam satu waktu, dengan permintaan yang berbeda-beda, dengan bahasa yang beragam, dan dialeg-dialeg yang beragam pula, Allah ‘Azza wa Jalla tetap mendengar suara-suara mereka tanpat tertukar suara satu dengan suara lainnya, , kebutuhan yang satu dengan kebutuhan yang lainnya, dan bahasa yang satu dengan bahasa yang lainnya. Dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman,
يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ
أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ قَامُوا فِي صَعِيدٍ وَاحِدٍ
فَسَأَلُونِي فَأَعْطَيْتُ كُلَّ إِنْسَانٍ مَسْأَلَتَهُ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِمَّا
عِنْدِي إِلَّا كَمَا يَنْقُصُ الْمِخْيَطُ إِذَا أُدْخِلَ الْبَحْرَ
“Wahai hamba-hamba-Ku, seandainya yang pertama di antara kalian dan orang yang paling terakhirnya, baik dari kalangan jin dan manusia, berada dalam suatu tempat yang sama, lalu semuanya meminta kepada-Ku, maka akan Aku beri kepada mereka sesuai dengan permintaannya.
Yang demikian itu tidak mengurangi sedikit pun yang ada pada-Ku, layaknya air laut yang terambil dari dari sebuah jarum yang dicelupkan ke dalamnya.” (HR. Muslim). Seorang perempuan datang ke rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengadukan permasalahan yang sedang ia hadapi kepada Allah. Saat itu Aisyah radhiallahu ‘anha berada di dalam rumah. Aisyah mengatakan, “Maha Suci Dzat yang luas pendengaran-Nya, perempuan yang mengadukan perkaranya kepada Rasulullah itu kudengar sebagian suaranya dan terluput dari suaranya yang lain (mendengar sepotong-sepotong), tapi Dia mendengar-Nya dengan menurunkan firman-Nya,
قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ
الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang
mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya…” (QS. Al-Mujadalah: 1).
Apabila kita mengimani bahwa Allah mendengar suara kita, maka bagaimana perasaan kita ketika Allah mendengar kalimat-kalimat yang tidak pantas keluar dari lisan kita. Ketika kita mengimani Allah Maha Mendengar dengan keimanan yang kuat, niscaya kita akan menyibukkan lisan kita dengan dzikir, membaca Alquran, mengucapkan tasbih dan tahmid kepada-Nya. Dan kita sangat menginginkan agar Allah mendengar perkataan yang benar dan bermanfaat dari lisan kita. Lalu kenapa kita tidak menjaga lisan kita? Kita sering sembrangan berbicara? Bukankah Allah mendengar ucapan kita, melihat tingkah pola kita, dan mengetahui keadaan kita?
Asmaul Husna adalah nama-nama Allah yang diungkapkan dalam Alquran dan Hadits. Mengetahui dan memahami Asmaul Husna merupakan salah satu cara untuk lebih mengenal sifat-sifat dan kebesaran Allah.
Allah telah memberikan gharizah diiniyyah kepada manusia ketika
dilahirkan. Maka kecenderungan untuk mengikuti sifat Allah akan menuntun
manusia untuk selalu mengambil yg positif, benar, mulia, baik, bermanfaat,
adil, dan semua akhlak mulia lainnya. Kecenderungan dan kecondongan kepada
kebenaran itu selalu ada dalam Nurani manusia, kecuali manusia sendiri yang
mengotorinya.
Contoh:
· Kecenderungan orang untuk merasa bersalah setelah melakukan kesalahan.
· Kecenderungan orang menemukan Tuhan.
· Kecenderungan orang untuk merasa kasihan pada yang lemah, timbulnya simpati dan empati.
0 comments:
Posting Komentar