IMAN DAN TAUHID
A. PENGERTIAN IMAN
Iman secara etimologis berasal dari kata amana-yu’minu berarti tasdiq yaitu membenarkan mempercayai. Dan menurut istilah Iman ialah “Membenarkan degan hati diucapkan dengan lisan dan dibuktikan dengan amal perbuatan.” Dengan demikian, iman itu bukan sekedar pengertian dan keyakinan dalam hati; bukan sekedar ikrar dengan lisan dan bukan sekedar amal perbuatan saja tapi hati dan jiwa kosong. Imam Hasan Basri mengatakan “Iman secara etimologis berasal dari kata amana-yu’minu berarti tasdiq yaitu membenarkan mempercayai. Dan menurut istilah Iman ialah “Membenarkan degan hati diucapkan dengan lisan dan dibuktikan dengan amal perbuatan.”
Dengan demikian, iman itu bukan sekedar keyakinan dalam hati, bukan sekedar ikrar dengan lisan, dan bukan sekedar amal perbuatan saja tapi hati dan jiwa kosong yang melaksanakan ketiga-tiganya. Oleh karena itu Imam Hasan Basri mengatakan “Iman itu bukanlah sekedar angan-angan dan bukan pula sekedar basa-basi dengan ucapan akan tetapi sesuatu keyakinan yang terpatri dalam hati dan dibuktikan dengan amal perbuatan”.
Oleh karena itu ada beberapa tahapan iman yang harus dilalui dalam ajaran islam yaitu :
1. Dibenarkan di dalam qalbu
(keyakinan mendalam akan kebenaran yang disampaikan)
2. Diikrarkan dengan lisan
(menyebarkan kebenaran)
3. Diamalkan (merealisasikan
iman dengan mengikuti Al-Quran dan contoh Rasul)
B. REALISASI IMAN DALAM KEHIDUPAN (AKHLAK ADALAH CERMINAN DARI IMAN)
Implementasi dari sebuah keimanan seseorang adalah ia mampu berakhlak terpuji. Allah sangat menyukai hambanya yang mempunyai akhlak terpuji. Akhlak terpuji dalam islam disebut sebagai akhlak mahmudah. Beberapa contoh akhlak terpuji antara lain adalah bersikap jujur, bertanggung jawab, amanah, baik hati, tawadhu, istiqomah dan lain-lain. Sebagai umat islam kita mempunyai suri tauladan yang perlu untuk dicontoh atau diikuti yaitu nabi Muhammad SAW. Ia adalah sebaik-baik manusia yang berakhlak sempurna.
Ketika Aisyah ditanya bagaimana akhlak rosul, maka ia menjawab bahwa akhlak rosul adalah Al-quran. Artinya rosul merupakan manusia yang menggambarkan akhlak seperti yang tertera di dalam Al-quran.
Akhlak yang mulia adalah cerminan keimanan seseorang. Rendah tingginya akhlak menjadi indikator kuat bagi keimanannya. Semakin tinggi akhlak seseorang maka semakin tinggi pula keimanannya, dan sebaliknya. Rasulullah bersabda :
“Orang yang paling sempurna imannya adalah yang paling mulia akhlaknya.” (HR. Ath Thabrani dalam mu’jam ash shaghir no. 605)
Oleh karena itu, Nabi sering mengaitkan antara iman seseorang dengan akhlak. Bahkan lebih dari itu, beliau mensejajarkan kedudukan akhlak dengan iman. Sebagaimana Rosulullah bersabda :
Memang, realita sejarah mengungkapkan bahwa dari masa ke masa
banyak umat manusia yang melakukan pelanggaran akhlak, tidak terkecuali pada
masa Rasulullah. Kehidupan jahiliah yang mendominasi kala itu melahirkan
kebobrokan moral dan akhlak dalam segala aspek kehidupan dan yang terparah
adalah aspek aqidah. Selama 23 tahun Nabi Muhammad memperbaiki aqidah dan
akhlak manusia hingga mencapai dikenal sebagai khairu ummah. Di zaman kita
sekarang ini pun, meskipun Islam sudah tersebar ke seluruh pelosok dunia dan
sudah sekilan lama aqidah islam bersemayam di dalam hati kaum muslimin,
ternyata problematika kemerosotan akhlak masih sering terjadi.
Bahkan belakangan ini fenomenanya semakin gawat hingga
memporak-porandakan sendi-sendi kehidupan umat. Krisis politik, ekonomi, hukum,
keuangan, kesusilaan, keteladanan, dan krisis lainnya yang melanda umat
belakangan ini tidak lain disebabkan oleh krisis akhlak yang sedang melanda. Kapankah umat ini
akan meraih kembali keharuman namanya, ketinggian martabatnya, dan keluhuran
budinya? Tentu jawabannya adalah jika kita mau menghidupkan kembali nilai-nilai
akhlak mulia dalam kehidupan kita.
C.
PENGERTIAN
TAUHID
Tauhid (Arab :توحيد), adalah konsep
dalam aqidah islam yang menyatakan keesaan Allah. Tauhid diambil kata :Wahhada
Yuwahhidu Tauhidan yang artinya mengesakan. Satu suku kata dengan kata
wahid yang berarti satu atau kata ahad yang berarti esa. Dalam ajaran Islam
Tauhid itu berarti keyakinan akan keesaan Allah. Kalimat Tauhid ialah kalimat
La Illaha Illallah yang berarti tidak ada Tuhan melainkan Allah.
Sebagaimana dibahas di muka bahwa yang dimaksud dengan tauhid adalah keyakinan akan keesaan Allah swt. Sebagai Tuhan yang telah menciptakan, memelihara, dan menentukan segala sesuatu yang ada di alam ini. Keyakinan seperti ini dalam ajaran tauhid disebut dengan Rubūbiyyah. Sebagai konsekuensi dari keyakinan ini, kita dituntut untuk melaksanakan ibadah hanya tertuju kepada Allah swt. Dengan kata lain hanya Allah yang berhak disembah dan diibadati. Keyakinan ini disebut dengan Ulūhiyyah. Kedua ajaran tauhid ini (yakni Rubūbiyyah dan Ulūhiyyah) sebenarnya ada dalam satu makna mendasar dan tidak bisa dipisahkan antara keduanya, oleh karena itu harus kita jadikan bagian dari hidup dan kehidupan kita, dalam menghadapi berbagai keadaan, baik dalam menghadapi hal-hal yang menyenangkan karena memperoleh nikmat atau dalam menghadapi hal-hal yang menyedihkan, karena ditimpa oleh musibah.
Dalam ajaran tauhid, paling tidak
ada tiga hal mendasar yang dibicarakan. Pertama, Ilāhiyyāt,
yaitu hal-hal yang berkaitan dengan :
1.
Dzat Tuhan, (Tauhid Dzat)
Mengiktikadkan bahwa Zat Allah itu Esa, tidak
berbilang, Zat Allah hanya dimiliki Allah saja, setiap makhluk tidak akan
memilikinya dan tidak akan mengetahuinya terbuat dari unsure apa saja.
Rasulullah saw. bersabda:
“Pikirkanlah ciptaan Allah dan jangan
pikirkan Zat Allah karena engkau akan hancur”. (HR Abu Nuaim dari Ibnu
Umar)
2.
Sifat-sifat Tuhan (Tauhid Sifat)
Adalah mengiktikadkan bahwa tidak ada
sesuatu pun yang menyamai sifat Allah, dan hanya Allah saja yang memiliki sifat
kesempurnaan.
3.
Perbuatan-perbuatan-Nya dan hubungan
antara Tuhan dan hamba-hamba-Nya (Tauhid Af’al)
Adalah mengiktikadkan bahwa allah sendiri yang
mencipta dan memelihara alam semesta.
“..Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan
Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya” (Al Furqan: 2).
Kedua, Nubuwwāt, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan para nabi yang diutus oleh Allah swt. kepada seluruh umat manusia, untuk menyampaikan syariat-syariat-Nya kepada mereka.
Ketiga, Sam’iyyāt,
yaitu informasi-informasi yang dibawa oleh para nabi tersebut berupa wahyu yang
mereka terima dari Allah swt. untuk disampaikan kepada umat mereka
masing-masing.
Dalam ketiga ajaran dasar ini, termuat
ajaran tentang malaikat, kitab dan takdir. Dan dari ajaran dasar inilah
ditegakkan rukun-rukun Islam, berupa syahadat, salat, puasa, zakat dan haji
serta ibadah-ibadah lainnya. Sebagai pelengkap, sekaligus penyempurna,
disyariatkan pula ihsān yang harus menyertai
berbagai ibadah yang kita lakukan. Dan buah dari ketiga ajaran Islam ini (yakni
Iman, Islam dan Ihsān) adalah baiknya prilaku atau
akhlak seorang hamba Allah swt. baik dalam rangka berhubungan dengan Allah swt.
dengan sesama manusia, ataupun dengan alam lingkungannya. Semua hal ini, telah
direalisasikan oleh Nabi Besar Muhammad saw. dalam kehidupan beliau
sehari-hari. Dan kita sebagai umat beliau diminta untuk meneladani seluruh
aspek kehidupan beliau semampu kita.
Salah satu prilaku Nabi Muhammad saw. yang harus kita teladani
adalah melakukan ibadah
berdasarkan apa yang disukai oleh Allah selaku Yang Berhak menerima ibadah,
bukan yang disukai oleh mereka sendiri. Sebuah dialog ringan yang terjadi
antara beliau dengan Ummul Mukminin, ‘Āisyah ra., ketika kaki Rasulullah saw.
bengkak, karena banyak melakukan Qiyāmul Layl (salat malam).
‘Aisyah ra. berkata: Ya Rasulallah, Anda melaksanakan ibadah Qiyāmul Layl
(salat malam) sampai kaki Anda bengkak, bukankah Allah telah mengampuni
dosa-dosa Anda yang terdahulu maupun yang akan datang? Rasulullah saw. menjawab
tegas: Tidak patutkah aku menjadi seorang hamba yang pandai bersyukur?
Dialog ringan ini menjelaskan bahwa
karena Allah menyukai hamba-hamba-Nya yang pandai bersyukur, maka Rasulullah
saw. pun melakukannya, tanpa menghiraukan kaki beliau menjadi bengkak karenanya.
D.
REALISASI
TAUHID DALAM KEHIDUPAN (TAUHID SOSIAL)
Pemurnian tauhid harus dibarengi penyucian jiwa, sebab jiwa yang suci adalah cermin tauhid yang indah. Berapa banyak teladan bisa kita tiru mengenai pandangan mereka bahwa segala yang tampak didunia merupakan manisfestasi Tuhan. Maka patut sekiranya dirawat, dijaga dan dihormati. Sedangkan tauhid sosial merupakan dimensi sosial tauhid dalam kehidupan sosial sebagai turunan pengetahuan tauhid kedalam kehidupan dan ralitas sosial secara konkret. Kalau kita perhatikan dengan cermat, segala rangkain aktivitas ibadah mempunyai implikasi sosial.
Maksudnya adalah apapun ritual
keagamaan yang kita kerjakan disana terdapan sisi humanis-sosialisnya. Shalat,
puasa, zakat dan haji semisal, bukan sekedar ibadah yang dipersembahkan kepada
Tuhan semata, melainkan memuat pelajaran yang sarat makna nan bijak. Sebagai
contoh, shalat juga mengajarkan pada kita mengenai kepemimpinan, keteraturan
dan kedisipilinan.
Dalam konteks kehidupan sosial,
tauhid sosial sebenarnya ingin mengajari kita perihal kesatuan iman dan amal
sholeh. Sebab amal sholeh adalah tingkatan lanjutan yang lebih tinggi dari
sekedar iman. Dalam hubungan kemanusiaan, tidaklah dikatakan beriman apabila
sesama saudara dan tetangga masih saling diam-diaman, lebih parah lagi kalau
sampai bermusuhan.
Iman tidaklah berarti apa-apa tanpa
melanjutkan pemahaman iman dalam perbuatan hidup. Dalam sebuah hadist, Nabi SAW
bersabda : “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka hendaklah
ia berbuat baik kepada tetangganya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari
kiamat,maka hendaklah ia memuliakan tamunya. Barangsiapa beriman kepada Allah
dan hari kiamat, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR
Muslim).
Kesatuan Iman dan Amal
Pengertian tauhid sosial yang semacam itu, maka tampak sekali pentingnya
menyatukan iman dan amal shaleh, iman dan amal serta agama dengan kemanusiaan.
Perspektif tauhid sosial berusaha mengharmoniskan antara agama dan
kemanusia’an. Hal ini bertujuan menghindari seperti apa yang diutarkan oleh
Mohamed Arkoun sebagai “nalar teologis (al-‘aqlul aqa’idy),
yakni memusatkan segala persoalan kepada Tuhan, pembahasan problem ketuhanan,
sembari merendahkan dan memandang sebelah mata harkat martabat serta problem
kemanusiaan.
Kita semua tentu akan merasa risih
terhadap pemaknaan tauhid yang sempit dan cenderung sensitiv. Semangat
perjuangan menggebu-gebu ketika berhadapan dengan ketidakadilan, penindasan dan
diskriminasi. Atau bahkan memaki-maki ketika menemukan perilaku-perilaku amoral
dalam kehidupan. Banyak umat Islam yang responsif tampil ingin menumpas,
melenyapkan dan melawan hal-hal tersebut. Akan tetapi, semangat tersebut
seketika hilang kala bila yang dihadapi adalah kenyataan-kenyataan sosial yang
mengakibatkan kesenjangan seperti kemiskinan dan kemelaratan. Hampir sebagian
besar umat Islam mengalami hal tersebut.
Tentu sangat diharapkan bahwa prinsip-prinsip tauhid sosial bisa dielaborasikan dalam berbagai dimensi hidup. Namun kita tidak boleh menutup mata bahwa untuk mengaktualisasikan nilai tauhid kita akan menemui hambatan-hambatan yang begitu kejam. Perihal kesejahteraan sosial semisal, perilaku konglomerasi yang sudah mengakar menjadi musuh kita. Sehingga untuk menghadapi hal tersebut, diperlukan keistiqomahan dan kesabaran. Rasulullah pernah menyampaikan pada perang badar pada pasukanya : “kalian akan ditolong oleh Allah, dianugerahi kemenangan dan rejeki. Jika semata-mata untuk membela kaum lemah”
Perkataan tersebut berkesan bahwa
kita harus tetap berjuang dan hidup untuk kaum yang lemah dan dilemahkan.
Bagaimanapun juga, harta yang kita miliki ada campur tangan mereka dari
golongan rendah. Seorang majikan bisa membeli mobil mewah dan uang miliyaran
rupiah, dikarenakan ada banyak buruh yang menyisipkan tenaga dan waktunya dalam
produksi.
Bukan sebaliknya, oarnng yang kaya bertindak
sewenang-wenang sementara orang-orang miskin menengadahkan tangan berurai air
mata memohon pertolongan. Secara tegas Islam memerintahkan agar memperhatikan
dengan serius mereka yang kurang mampu. Fungsi tauhid sosial sebenarnya untuk
mengatasi hal semacam itu. Karenanya, dimensi sosial tauhid menjadi tugas rumah
kita bersama, harus dimasyarakatkan, dibudayakan dan digelorakan bersama.
Ruang-ruang akademik dan sosial menjadi basis penggagas.
Artinya, umat Islam memiliki
kewajiban keagamaan dalam mewujudkan kehidupan yang lebih baik, sembari
mendemonstrasikan tegaknya tauhid sosial. Dalam konteks keanekaragaman yang ada
di Indonesia, kita perlu bersabar dalam mengusahakan tegaknya keadilan sosial
berbasis tauhid. Keseriusan menjadi ujung tombaknya. Sebab yang dihapai bukan
saja masyarakatnya, budaya yang sedari awal telah mengakar pun harus dilawan.
Dengan demikian ajaran Islam mengapresiasi mereka yang tulus berkorban dan
berjuang untuk keperluan agama.
Oleh karena itu, mari ber fastabiqul khoirat demi mewujudkan iman yang berkeadilan dan ber-peri kemanusiaan. Semaksimal mungkin realisasi tauhid sosial benar-benar menyentuh kehidupan sosial. Iman dan tauhid yang kokoh mampu mengantarkan manusia pada kemulian sebagai insan kamil. Tiada sesuatu pun mampu menghalangi seseorang pada kemulian ketika ketauhidan kepada Tuhan sudah terpatri dalam jiiwanya. Konsep tauhid tidak mengenal klasterisasi maupun diskriminasi. Tauhid memiliki nilai yang komperenshif, sehingga tauhid adalah untuk sekalian umat.
Oleh : Dr. H. Ahmad Subqi, Lc,.M.Sy
0 comments:
Posting Komentar