YAYASAN YATIM & DU’AFA ALKAUTSAR 561, MENERIMA PENYALURAN ZAKAT, INFAQ, WAKAF DAN SHODAQOH

Rabu, 18 Januari 2023

AKHLAQ AL-KARIMAH ( Bab Iman & Tauhid )


IMAN DAN TAUHID

 

A.  PENGERTIAN IMAN

Iman secara etimologis berasal dari kata amana-yu’minu berarti tasdiq yaitu membenarkan mempercayai. Dan menurut istilah Iman ialah “Membenarkan degan hati diucapkan dengan lisan dan dibuktikan dengan amal perbuatan.” Dengan demikian, iman itu bukan sekedar pengertian dan keyakinan dalam hati; bukan sekedar ikrar dengan lisan dan bukan sekedar amal perbuatan saja tapi hati dan jiwa kosong. Imam Hasan Basri mengatakan “Iman secara etimologis berasal dari kata amana-yu’minu berarti tasdiq yaitu membenarkan mempercayai. Dan menurut istilah Iman ialah “Membenarkan degan hati diucapkan dengan lisan dan dibuktikan dengan amal perbuatan.

    Dengan demikian, iman itu bukan sekedar keyakinan dalam hati, bukan sekedar ikrar dengan lisan, dan bukan sekedar amal perbuatan saja tapi hati dan jiwa kosong yang melaksanakan ketiga-tiganya. Oleh karena itu Imam Hasan Basri mengatakan “Iman itu bukanlah sekedar angan-angan dan bukan pula sekedar basa-basi dengan ucapan akan tetapi sesuatu keyakinan yang terpatri dalam hati dan dibuktikan dengan amal perbuatan”.

    Oleh karena itu ada beberapa tahapan iman yang harus dilalui dalam ajaran islam yaitu :

1.    Dibenarkan di dalam qalbu (keyakinan mendalam akan kebenaran yang disampaikan)

2.    Diikrarkan dengan lisan (menyebarkan kebenaran)

3.    Diamalkan (merealisasikan iman dengan mengikuti Al-Quran dan contoh Rasul)

 

B.  REALISASI IMAN DALAM KEHIDUPAN (AKHLAK ADALAH CERMINAN DARI IMAN)

Implementasi dari sebuah keimanan seseorang adalah ia mampu berakhlak terpuji. Allah sangat menyukai hambanya yang mempunyai akhlak terpuji. Akhlak terpuji dalam islam disebut sebagai akhlak mahmudah. Beberapa contoh akhlak terpuji antara lain adalah bersikap jujur, bertanggung jawab, amanah, baik hati, tawadhu, istiqomah dan lain-lain. Sebagai umat islam kita mempunyai suri tauladan yang perlu untuk dicontoh atau diikuti yaitu nabi Muhammad SAW. Ia adalah sebaik-baik manusia yang berakhlak sempurna.

    Ketika Aisyah ditanya bagaimana akhlak rosul, maka ia menjawab bahwa akhlak rosul adalah Al-quran. Artinya rosul merupakan manusia yang menggambarkan akhlak seperti yang tertera di dalam Al-quran.

    Akhlak yang mulia adalah cerminan keimanan seseorang. Rendah tingginya akhlak menjadi indikator kuat bagi keimanannya. Semakin tinggi akhlak seseorang maka semakin tinggi pula keimanannya, dan sebaliknya. Rasulullah bersabda :

أَكْمَلُ المُؤمِنِينَ إِيمَاناً أَحسَنُهُم خُلُقاً

“Orang yang paling sempurna imannya adalah yang paling mulia akhlaknya.” (HR. Ath Thabrani dalam mu’jam ash shaghir no. 605)


لاَ إِيمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ، وَلاَ دِينَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَهُ

“Tidak ada iman bagi yang tidak memiliki amanah dan tidak ada agama bagi yang tidak menepati janji.”

Oleh karena itu, Nabi sering mengaitkan antara iman seseorang dengan akhlak. Bahkan lebih dari itu, beliau mensejajarkan kedudukan akhlak dengan iman. Sebagaimana Rosulullah bersabda :

Memang, realita sejarah mengungkapkan bahwa dari masa ke masa banyak umat manusia yang melakukan pelanggaran akhlak, tidak terkecuali pada masa Rasulullah. Kehidupan jahiliah yang mendominasi kala itu melahirkan kebobrokan moral dan akhlak dalam segala aspek kehidupan dan yang terparah adalah aspek aqidah. Selama 23 tahun Nabi Muhammad memperbaiki aqidah dan akhlak manusia hingga mencapai dikenal sebagai khairu ummah. Di zaman kita sekarang ini pun, meskipun Islam sudah tersebar ke seluruh pelosok dunia dan sudah sekilan lama aqidah islam bersemayam di dalam hati kaum muslimin, ternyata problematika kemerosotan akhlak masih sering terjadi.

Bahkan belakangan ini fenomenanya semakin gawat hingga memporak-porandakan sendi-sendi kehidupan umat. Krisis politik, ekonomi, hukum, keuangan, kesusilaan, keteladanan, dan krisis lainnya yang melanda umat belakangan ini tidak lain disebabkan oleh krisis akhlak yang sedang melanda. Kapankah umat ini akan meraih kembali keharuman namanya, ketinggian martabatnya, dan keluhuran budinya? Tentu jawabannya adalah jika kita mau menghidupkan kembali nilai-nilai akhlak mulia dalam kehidupan kita.

 

C.  PENGERTIAN TAUHID

Tauhid (Arab :توحيد), adalah konsep dalam aqidah islam yang menyatakan keesaan Allah. Tauhid diambil kata :Wahhada Yuwahhidu Tauhidan yang artinya mengesakan. Satu suku kata dengan kata wahid yang berarti satu atau kata ahad yang berarti esa. Dalam ajaran Islam Tauhid itu berarti keyakinan akan keesaan Allah. Kalimat Tauhid ialah kalimat La Illaha Illallah yang berarti tidak ada Tuhan melainkan Allah.


    Sebagaimana dibahas di muka bahwa yang dimaksud dengan tauhid adalah keyakinan akan keesaan Allah swt. Sebagai Tuhan yang telah menciptakan, memelihara, dan menentukan segala sesuatu yang ada di alam ini. Keyakinan seperti ini dalam ajaran tauhid disebut dengan Rubūbiyyah. Sebagai konsekuensi dari keyakinan ini, kita dituntut untuk melaksanakan ibadah hanya tertuju kepada Allah swt. Dengan kata lain hanya Allah yang berhak disembah dan diibadati. Keyakinan ini disebut dengan Ulūhiyyah. Kedua ajaran tauhid ini (yakni Rubūbiyyah dan Ulūhiyyah) sebenarnya ada dalam satu makna mendasar dan tidak bisa dipisahkan antara keduanya, oleh karena itu harus kita jadikan bagian dari hidup dan kehidupan kita, dalam menghadapi berbagai keadaan, baik dalam menghadapi hal-hal yang menyenangkan karena memperoleh nikmat atau dalam menghadapi hal-hal yang menyedihkan, karena ditimpa oleh musibah.

Dalam ajaran tauhid, paling tidak ada tiga hal mendasar yang dibicarakan. PertamaIlāhiyyāt, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan :

1.      Dzat Tuhan, (Tauhid Dzat)

Mengiktikadkan bahwa Zat Allah itu Esa, tidak berbilang, Zat Allah hanya dimiliki Allah saja, setiap makhluk tidak akan memilikinya dan tidak akan mengetahuinya terbuat dari unsure apa saja.

Rasulullah saw. bersabda:

Pikirkanlah ciptaan Allah dan jangan pikirkan Zat Allah karena engkau akan hancur”. (HR Abu Nuaim dari Ibnu Umar)

2.      Sifat-sifat Tuhan (Tauhid Sifat)

Adalah mengiktikadkan bahwa tidak ada sesuatu pun yang menyamai sifat Allah, dan hanya Allah saja yang memiliki sifat kesempurnaan.

3.      Perbuatan-perbuatan-Nya dan hubungan antara Tuhan dan hamba-hamba-Nya (Tauhid Af’al)

Adalah mengiktikadkan bahwa allah sendiri yang mencipta dan memelihara alam semesta.

“..Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya” (Al Furqan: 2).


Kedua, Nubuwwāt, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan para nabi yang diutus oleh Allah swt. kepada seluruh umat manusia, untuk menyampaikan syariat-syariat-Nya kepada mereka.

KetigaSam’iyyāt, yaitu informasi-informasi yang dibawa oleh para nabi tersebut berupa wahyu yang mereka terima dari Allah swt. untuk disampaikan kepada umat mereka masing-masing.

Dalam ketiga ajaran dasar ini, termuat ajaran tentang malaikat, kitab dan takdir. Dan dari ajaran dasar inilah ditegakkan rukun-rukun Islam, berupa syahadat, salat, puasa, zakat dan haji serta ibadah-ibadah lainnya. Sebagai pelengkap, sekaligus penyempurna, disyariatkan pula ihsān yang harus menyertai berbagai ibadah yang kita lakukan. Dan buah dari ketiga ajaran Islam ini (yakni Iman, Islam dan Ihsān) adalah baiknya prilaku atau akhlak seorang hamba Allah swt. baik dalam rangka berhubungan dengan Allah swt. dengan sesama manusia, ataupun dengan alam lingkungannya. Semua hal ini, telah direalisasikan oleh Nabi Besar Muhammad saw. dalam kehidupan beliau sehari-hari. Dan kita sebagai umat beliau diminta untuk meneladani seluruh aspek kehidupan beliau semampu kita.

Salah satu prilaku Nabi Muhammad saw. yang harus kita teladani

adalah melakukan ibadah berdasarkan apa yang disukai oleh Allah selaku Yang Berhak menerima ibadah, bukan yang disukai oleh mereka sendiri. Sebuah dialog ringan yang terjadi antara beliau dengan Ummul Mukminin, ‘Āisyah ra., ketika kaki Rasulullah saw. bengkak, karena banyak melakukan Qiyāmul Layl (salat malam). ‘Aisyah ra. berkata: Ya Rasulallah, Anda melaksanakan ibadah Qiyāmul Layl (salat malam) sampai kaki Anda bengkak, bukankah Allah telah mengampuni dosa-dosa Anda yang terdahulu maupun yang akan datang? Rasulullah saw. menjawab tegas:  Tidak patutkah aku menjadi seorang hamba yang pandai bersyukur? 
    Dialog ringan ini menjelaskan bahwa karena Allah menyukai hamba-hamba-Nya yang pandai bersyukur, maka Rasulullah saw. pun melakukannya, tanpa menghiraukan kaki beliau menjadi bengkak karenanya.

 

D.  REALISASI TAUHID DALAM KEHIDUPAN (TAUHID SOSIAL)

Pemurnian tauhid harus dibarengi penyucian jiwa, sebab jiwa yang suci adalah cermin tauhid yang indah. Berapa banyak teladan bisa kita tiru mengenai pandangan mereka bahwa segala yang tampak didunia merupakan manisfestasi Tuhan. Maka patut sekiranya dirawat, dijaga dan dihormati. Sedangkan tauhid sosial merupakan dimensi sosial tauhid dalam kehidupan sosial sebagai turunan pengetahuan tauhid kedalam kehidupan dan ralitas sosial secara konkret. Kalau kita perhatikan dengan cermat, segala rangkain aktivitas ibadah mempunyai implikasi sosial.

Maksudnya adalah apapun ritual keagamaan yang kita kerjakan disana terdapan sisi humanis-sosialisnya. Shalat, puasa, zakat dan haji semisal, bukan sekedar ibadah yang dipersembahkan kepada Tuhan semata, melainkan memuat pelajaran yang sarat makna nan bijak. Sebagai contoh, shalat juga mengajarkan pada kita mengenai kepemimpinan, keteraturan dan kedisipilinan.

Dalam konteks kehidupan sosial, tauhid sosial sebenarnya ingin mengajari kita perihal kesatuan iman dan amal sholeh. Sebab amal sholeh adalah tingkatan lanjutan yang lebih tinggi dari sekedar iman. Dalam hubungan kemanusiaan, tidaklah dikatakan beriman apabila sesama saudara dan tetangga masih saling diam-diaman, lebih parah lagi kalau sampai bermusuhan.

Iman tidaklah berarti apa-apa tanpa melanjutkan pemahaman iman dalam perbuatan hidup. Dalam sebuah hadist, Nabi SAW bersabda : “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari kiamat,maka hendaklah ia memuliakan tamunya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR Muslim).

Kesatuan Iman dan Amal

Pengertian tauhid sosial yang semacam itu, maka tampak sekali pentingnya menyatukan iman dan amal shaleh, iman dan amal serta agama dengan kemanusiaan. Perspektif tauhid sosial berusaha mengharmoniskan antara agama dan kemanusia’an. Hal ini bertujuan menghindari seperti apa yang diutarkan oleh Mohamed Arkoun sebagai “nalar teologis (al-‘aqlul aqa’idy), yakni memusatkan segala persoalan kepada Tuhan, pembahasan problem ketuhanan, sembari merendahkan dan memandang sebelah mata harkat martabat serta problem kemanusiaan.

Kita semua tentu akan merasa risih terhadap pemaknaan tauhid yang sempit dan cenderung sensitiv. Semangat perjuangan menggebu-gebu ketika berhadapan dengan ketidakadilan, penindasan dan diskriminasi. Atau bahkan memaki-maki ketika menemukan perilaku-perilaku amoral dalam kehidupan. Banyak umat Islam yang responsif tampil ingin menumpas, melenyapkan dan melawan hal-hal tersebut. Akan tetapi, semangat tersebut seketika hilang kala bila yang dihadapi adalah kenyataan-kenyataan sosial yang mengakibatkan kesenjangan seperti kemiskinan dan kemelaratan. Hampir sebagian besar umat Islam mengalami hal tersebut.

Tentu sangat diharapkan bahwa prinsip-prinsip tauhid sosial bisa dielaborasikan dalam berbagai dimensi hidup. Namun kita tidak boleh menutup mata bahwa untuk mengaktualisasikan nilai tauhid kita akan menemui hambatan-hambatan yang begitu kejam. Perihal kesejahteraan sosial semisal, perilaku konglomerasi yang sudah mengakar menjadi musuh kita. Sehingga untuk menghadapi hal tersebut, diperlukan keistiqomahan dan kesabaran. Rasulullah pernah menyampaikan pada perang badar pada pasukanya : “kalian akan ditolong oleh Allah, dianugerahi kemenangan dan rejeki. Jika semata-mata untuk membela kaum lemah

Perkataan tersebut berkesan bahwa kita harus tetap berjuang dan hidup untuk kaum yang lemah dan dilemahkan. Bagaimanapun juga, harta yang kita miliki ada campur tangan mereka dari golongan rendah. Seorang majikan bisa membeli mobil mewah dan uang miliyaran rupiah, dikarenakan ada banyak buruh yang menyisipkan tenaga dan waktunya dalam produksi.

Bukan sebaliknya, oarnng yang kaya bertindak sewenang-wenang sementara orang-orang miskin menengadahkan tangan berurai air mata memohon pertolongan. Secara tegas Islam memerintahkan agar memperhatikan dengan serius mereka yang kurang mampu. Fungsi tauhid sosial sebenarnya untuk mengatasi hal semacam itu. Karenanya, dimensi sosial tauhid menjadi tugas rumah kita bersama, harus dimasyarakatkan, dibudayakan dan digelorakan bersama. Ruang-ruang akademik dan sosial menjadi basis penggagas.

Artinya, umat Islam memiliki kewajiban keagamaan dalam mewujudkan kehidupan yang lebih baik, sembari mendemonstrasikan tegaknya tauhid sosial. Dalam konteks keanekaragaman yang ada di Indonesia, kita perlu bersabar dalam mengusahakan tegaknya keadilan sosial berbasis tauhid. Keseriusan menjadi ujung tombaknya. Sebab yang dihapai bukan saja masyarakatnya, budaya yang sedari awal telah mengakar pun harus dilawan. Dengan demikian ajaran Islam mengapresiasi mereka yang tulus berkorban dan berjuang untuk keperluan agama.

Oleh karena itu, mari ber fastabiqul khoirat demi mewujudkan iman yang berkeadilan dan ber-peri kemanusiaan. Semaksimal mungkin realisasi tauhid sosial benar-benar menyentuh kehidupan sosial. Iman dan tauhid yang kokoh mampu mengantarkan manusia pada kemulian sebagai insan kamil. Tiada sesuatu pun mampu menghalangi seseorang pada kemulian ketika ketauhidan kepada Tuhan sudah terpatri dalam jiiwanya. Konsep tauhid tidak mengenal klasterisasi maupun diskriminasi. Tauhid memiliki nilai yang komperenshif, sehingga tauhid adalah untuk sekalian umat.


Oleh : Dr. H. Ahmad Subqi, Lc,.M.Sy

 


0 comments:

Posting Komentar